Thursday 20 November 2014

Lelaki Terlemah


Jika ada lelaki paling lemah di muka bumi ini, mungkin Ia adalah diriku. Bagaimana bisa tanganku gemetar saat memegang perkakas. Suaraku gagap dan tak lantang, orang lain harus bilang "Apa..?" agar tahu apa yang ku katakan. Air mataku kering, sayup-sayup memandang orang, terlihat seperti orang ngantuk. Badanku kecil tak berotot. Aku sangat lambat. Lelaki macam apa aku ini…?

Diantara lelaki lain, akulah yang paling tak bernilai. Ada yang ulet, tangannya terampil, bisa mengerjakan apa saja, tak bisa diam selalu bekerja. Ada yang jago strategi, bermain politik, selalu dimintai saran oleh bawahannya. Ada yang berilmu tinggi, menguasai segala teori, banyak bicara dan pandai bercerita. Ada yang berperawakan kekar, jantan, berstamina tinggi dan penakluk alam. Ada yang pandai mencari uang, dikenal banyak orang, mapan dan berpenampilan meyakinkan. Ada yang pandai beribadah, hafal ayat-ayat Tuhan, sholeh dan sering membantu sesama. Ada yang jago berkelakar, hebat dalam berkesenian, memiliki banyak kawan. Ada yang tampan, rupawan, pujaan para perempuan. Ya setidaknya itulah yang sering ku dengar dari para perempuan, akulah yang paling rendah, tak pernah diperhitungkan.

Katanya lelaki harus seperti itu. Aku pernah berusaha menjadi seperti mereka. Tak satupun yang ku dapatkan. Meskipun katanya pula, dalam diri seseorang pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Oh Tuhan, ada banyak kekurangan dalam diri ini. Saking sibuknya menghitung kekuranganku ini sampai tak tahu apa kelebihan yang kumiliki. Akulah lelaki terlemah, untuk dibandingan dengan lelaki lain pun aku selalu kalah.

Akulah lelaki terlemah di muka bumi ini. Untuk melangkah ke rumah Tuhan saja aku tak mampu. Padahal Engkaulah yang memberikanku segalanya meskipun sebagai seorang lelaki yang lemah. Jika aku mati, apakah aku tetap lemah seperti ini? Apakah mereka yang kuat tetap kuat seperti saat hidup di dunia?


Kasihan, 20 November 2014

Thursday 22 May 2014

Setahun Kemarin

Sejak siang kabut telah turun dari bukit hanya untuk menyelimuti lembahnya. Seakan mereka menutupi tanah yang baru saja murka dengan meruntuhkan seluruh rumah di Cigintung. Para wisatawan pun telah meninggalkan reruntuhan rumah-rumah itu, entah mereka berduka atau sedang mencari kesenangan. Aku tak peduli yang kulakukan saat itu hanyalah fokus pada anak-anak pengungsi. Merekalah yang akan melewati masa hidupnya di bekas lokasi bencana tanah bergerak, setidaknya sampai dewasa. Sedikit kepedulian ku tuangkan ke dalam doktrinasi tentang pelestarian lingkungan, mereka sajikan dalam kebun konservasi di sekolahnya. Hanya itu yang bisa kulakukan semoga mereka meneruskan karyanya itu agar dampak buruk bencana alam tak terulang melandanya.


Setahun kemarin setiap sembahyang subuh yang teramat dingin hanya aku seorang yang qunut menemani jamaah yang terbiasa melakukannya. Kawan yang lain masih mengantre kamar mandi yang hanya ada satu di posko relawan. Sebelum akhirnya tak perlu lagi mengantre karena warga sudah menyediakan empang di atas kolamnya. Mungkin mereka bahkan tak tahu kalau jamaah disebelahku menahan tawa karena badanku gemetaran menahan dingin yang sangat menusuk tulang. Satu hal yang tak bisa kulupakan dari mereka ketika malam setahun kemarin aku diberikan gelar sarjana dengan status "cumlaude" olehnya. Mereka juga memberikan kesempatan kepadaku untuk berpidato diantara anak-anak pengungsi. Tak lupa mereka potongkan tumpeng lengkap dengan ucapannya. Hari yang indah, tak pernah aku merasakan wisuda kelulusan senikmat ini bahkan di seberang Gunung Ciremai.

Aku ingat saat itu seharusnya toga dan ijazah bersamaku. Karena lewat telefon sahabatku di kampus menanyakanku sedang ada dimana meskipun sesungguhnya ia tahu aku berada dimana. Mungkin ia berbasa-basi karena kecewa aku meninggalkannya untuk bersama-sama memakai toga. "Namamu dipanggil beberapa kali boy..." begitu katanya. Setelah telefon berakhir lalu ku coba membayangkan atmosfer perayaan wisuda dimana ada aku disitu, bisa ku bayangkan secara detil karena aku selalu datang di wisudanya teman-teman seangkatanku kecuali hari itu. Lamunanku hilang saat kusadari tak hanya dia yang kecewa kepadaku, mereka adalah ibuku dan teman-temanku yang sudah membelikanku karangan bunga. Tak ada yang lain kecuali hanya ucapan maaf yang bisa kuberikan kepada mereka.

Aku selalu datang di perayaan wisuda teman-teman seangkatanku untuk memberikan ucapan selamat. Aku tahu bagi mereka saat itulah momentum terpenting dalam hidupnya yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Itulah mengapa aku selalu datang kesana, teman-temanku bergembira aku pun merasakannya. Namun entah mengapa aku sama sekali tak memiliki perasaan yang sama ketika harus merayakan kelulusanku sendiri. Aku memilih tak merayakannya. Sungguh sulit melakukannya. Sesungguhnya aku hanya ingin mempertegas apa yang akan kulakukan setelah setahun kemarin. Itu saja.



Pleret, 22 Mei 2014

Saturday 22 February 2014

Apresiasi untuk Kelud

Menurut saya penanganan bencana erupsi Kelud adalah respon bencana yang paling bagus selama kejadian bencana alam selama ini. Memang saya belum banyak pengalaman dalam hal respon bencana alam dan baru beberapa kali terjun di lapangan sebagai relawan psikososial, khususnya yang terkait dengan anak-anak dan konservasi alam pasca bencana bersama relawan Muhammadiyah dibawah Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Kali ini saya mengamini argumen SBY tentang penanganan bencana di Kelud tersebut, beliau mengatakan bahwa penanganan bencana erupsi Kelud bisa dijadikan model bagi penanganan bencana lainnya. Para relawan yang berangkat ke Kelud sudah banyak pengalaman menangani bencana erupsi yang terjadi di Merapi (2010) dan Sinabung (2013), lalu menerapkannya pada erupsi Kelud kali ini. Hal ini menjadikan penanganan bencana erupsi Kelud lebih rapi dan terkoordinir dengan baik. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari korban jiwa dari bencana tersebut, 15 Februari (dua hari pasca erupsi) yang lalu tercatat tujuh orang yang meninggal dunia. Itupun sebenarnya bukan korban jiwa dari peristiwa erupsi langsung karena penyebab meninggalnya diantaranya adalah faktor usia, gangguan kesehatan dan kecelakaan saat membersihkan tempat tinggal.

Pengendara sepeda motor di Jogja yang merasakan dampak erupsi Kelud, sumber : Reuters.

Ada beberapa hal yang membedakan penanganan erupsi Kelud dengan Merapi dan Sinabung. Masyarakat dan relawan mampu bergerak bersama “keluar” dari Kelud sebelum terjadinya erupsi. Masyarakat telah mengetahui akan terjadinya erupsi, peringatan akan perubahan status Kelud telah disosialisasikan secara merata pada bulan Januari. Para penggiat komunitas di sekitar Kelud berperan besaar dalam menyampaikan perubahan status tersebut. Sementara para relawan juga sudah ancang-ancang melakukan respon bencana erupsi Kelud. Hal ini terlihat dari obrolan dan coretan status di media sosial yang dimiliki para relawan, “Siap-siap Kelud njeblug….” Begitulah salah satunya. Artinya masyarakat dan relawan telah sama-sama siap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana erupsi Kelud.

Kesiapsiagaan tersebut juga tercermin dari jalur evakuasi, titik kumpul pengungsi dan tempat-tempat pengungsian yang telah tersedia baik di Kediri, Blitar, Pare maupun Malang. Oleh karena itu ketika erupsi terjadi, warga sekitar Kelud telah bergerak bersama relawan secara cepat. Media sosial gencar memberitakan informasi terkait evakuasi masyarakat Kelud. Hal ini sangat membantu proses evakuasi tersebut, apalagi melalui media baru tersebut telah tersedia detil tempat pengungsian seperti alamat, kapasitas pengungsi, contact person, bahkan peta letak tempat pengungsian tersebut.

Salah satu informasi yang tersedia di twitter, sumber : Samitra A.

Inilah sesungguhnya fungsi media sosial, memberikan informasi yang bermanfaat bagi penggunannya. Saya jadi teringat waktu erupsi Merapi 2010 yang lalu, saya dan beberapa kawan hanya memantau twitland @jalinmerapi untuk mengetahui tempat pengungsian mana yang membutuhkan pertolongan dan yang kelebihan “amunisi”. Melalui medsos tersebut kami bisa mendistribusikan makanan yang berlebih di salah satu tempat pengungsian ke tempat pengungsian lainnya yang masih membutuhkan makanan, begitu pula dengan obat-obatan maupun kebutuhan lainnya. Melalui medsos tersebut kita juga bisa memantau aliran lahar hujan yang memutus jalur Jogja-Magelang, salah satu daerah yang terdampak erupsi Merapi untuk menyalurkan bantuan. Dalam bencana erupsi Kelud kali ini, kita bisa memantau timeline seperti @jalinbencana, @KeludNews, @LinkKelud, ada pula akun twitter radio @PuspitaFM dan akun pribadi seperti milik @BayuKFM yang banyak memberikan informasi seputar penanganan bencana erupsi Kelud. Kini medsos menjadi amunisi baru dalam penanganan bencana alam dan memberikan dampak positif bagi para relawan dalam mengakses informasi seputar bencana alam. Lain ceritanya kalau kita hidup di jaman yang belum mengenal medsos, mungkin penanganan bencananya akan berbeda.

Belajar dari erupsi Merapi dan Sinabung, ternak juga tak luput dari pantauan para relawan yang bergerak di Kelud. Komunitas-komunitas pecinta binatang, dokter hewan, mahasiswa peternakan, dll bergerak membantu warga mengevakuasi ternaknya. Mereka berkoordinasi dengan relawan lainnya terkait jalur evakuasi dan medan yang akan dilalui. Penyuluhan tentang kesehatan ternak dan perawatan pasca erupsi juga mereka berikan kepada masyarakat. Sehingga tak ada lagi masyarakat yang menjadi korban bencana alam karena pulang kerumah untuk menyelamatkan ternak.

Satu hal yang menjadi renungan kita semua dalam erupsi Kelud ini, yakni ketika SBY datang ke lokasi pengungsian di Kediri dan Malang. Fasilitas seperti MCK yang tadinya biasa-biasa saja bahkan cenderung tidak layak seketika disulap menjadi sangat layak. Hal ini menandakan sebenarnya pemerintah sangat memapu memberikan pelayanan, begitu menurut seorang kawan dari Combine, Mas Iman Abdurahman. Saya sependapat dengannya karena memang penyediaan fasilitas bagi para pengungsi yang layak adalah hak pengungsi bukan hanya untuk presiden saja. Kejadian ini juga terjadi di Sinabung kemarin padahal presiden bukan pengungsi bencana alam.

Mengapa pemerintah tidak menyediakan fasilitas yang layak di tempat pengungsian jauh-jauh hari sebelumnya? Sehingga jika ada tamu penting yang akan berkunjung sudah tidak ribet lagi merapikan fasilitas yang tidak layak dan malah mengganggu aktivitas pengungsi. Dan yang terpenting fasilitas tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh pengungsi. Karena sebenarnya aktivitas penyambutan presiden yang datang ke tempat pengungsian justru menjadi beban bagi pengungsi karena harus memenuhi aturan protokoler. Pemerintah sangat mampu menyediakan fasilitas yang layak untuk pengungsi jika melihat pesiapan penyambutan presiden di tempat pengungsian yang sangat sigap menyediakan segala sesuatunya. Atau mungkin akan berbeda caranya jika presidennya tidak memakai protokoler, kita lihat saja bagaimana presiden selanjutnya melakukannya.

Saat ini bencana lainnya masih melanda negara kita. Di berita sedang ramai banjir yang melanda Jakarta kembali, sebelumnya banjir juga melanda Manado. Belajar dari bencana di Kelud, semoga para elit pemerintah lebih banyak berperan dalam mengatasi rakyatnya yang tertimpa bencana. Semoga Tuhan melindungi seluruh masyarakat di negeri ini. Amin.

Tuesday 11 February 2014

Mulai Menulis dan Nyampah

Lama tidak menulis membuat hari-hariku kurang berwarna. Laman ini saya buat agar bisa seenaknya nyampah diluar tulisan-tulisan yang lebih serius. Melalui ruang ini saya akan belajar menulis, menulis apa saja. Karena bagi saya berhenti menulis sama saja berhenti berjalan. Karena hidup sesungguhnya berjalan bukan berhenti dan diam saja. Jadi tunggu saja, saya akan mulai menyampah.