Thursday 22 May 2014

Setahun Kemarin

Sejak siang kabut telah turun dari bukit hanya untuk menyelimuti lembahnya. Seakan mereka menutupi tanah yang baru saja murka dengan meruntuhkan seluruh rumah di Cigintung. Para wisatawan pun telah meninggalkan reruntuhan rumah-rumah itu, entah mereka berduka atau sedang mencari kesenangan. Aku tak peduli yang kulakukan saat itu hanyalah fokus pada anak-anak pengungsi. Merekalah yang akan melewati masa hidupnya di bekas lokasi bencana tanah bergerak, setidaknya sampai dewasa. Sedikit kepedulian ku tuangkan ke dalam doktrinasi tentang pelestarian lingkungan, mereka sajikan dalam kebun konservasi di sekolahnya. Hanya itu yang bisa kulakukan semoga mereka meneruskan karyanya itu agar dampak buruk bencana alam tak terulang melandanya.


Setahun kemarin setiap sembahyang subuh yang teramat dingin hanya aku seorang yang qunut menemani jamaah yang terbiasa melakukannya. Kawan yang lain masih mengantre kamar mandi yang hanya ada satu di posko relawan. Sebelum akhirnya tak perlu lagi mengantre karena warga sudah menyediakan empang di atas kolamnya. Mungkin mereka bahkan tak tahu kalau jamaah disebelahku menahan tawa karena badanku gemetaran menahan dingin yang sangat menusuk tulang. Satu hal yang tak bisa kulupakan dari mereka ketika malam setahun kemarin aku diberikan gelar sarjana dengan status "cumlaude" olehnya. Mereka juga memberikan kesempatan kepadaku untuk berpidato diantara anak-anak pengungsi. Tak lupa mereka potongkan tumpeng lengkap dengan ucapannya. Hari yang indah, tak pernah aku merasakan wisuda kelulusan senikmat ini bahkan di seberang Gunung Ciremai.

Aku ingat saat itu seharusnya toga dan ijazah bersamaku. Karena lewat telefon sahabatku di kampus menanyakanku sedang ada dimana meskipun sesungguhnya ia tahu aku berada dimana. Mungkin ia berbasa-basi karena kecewa aku meninggalkannya untuk bersama-sama memakai toga. "Namamu dipanggil beberapa kali boy..." begitu katanya. Setelah telefon berakhir lalu ku coba membayangkan atmosfer perayaan wisuda dimana ada aku disitu, bisa ku bayangkan secara detil karena aku selalu datang di wisudanya teman-teman seangkatanku kecuali hari itu. Lamunanku hilang saat kusadari tak hanya dia yang kecewa kepadaku, mereka adalah ibuku dan teman-temanku yang sudah membelikanku karangan bunga. Tak ada yang lain kecuali hanya ucapan maaf yang bisa kuberikan kepada mereka.

Aku selalu datang di perayaan wisuda teman-teman seangkatanku untuk memberikan ucapan selamat. Aku tahu bagi mereka saat itulah momentum terpenting dalam hidupnya yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Itulah mengapa aku selalu datang kesana, teman-temanku bergembira aku pun merasakannya. Namun entah mengapa aku sama sekali tak memiliki perasaan yang sama ketika harus merayakan kelulusanku sendiri. Aku memilih tak merayakannya. Sungguh sulit melakukannya. Sesungguhnya aku hanya ingin mempertegas apa yang akan kulakukan setelah setahun kemarin. Itu saja.



Pleret, 22 Mei 2014