Monday 10 August 2015

Tulisan Cah Teka

Pengkopi di Mruput Ngopi
foto by @fidarinidevi 

Pengennya sih nyari kopi yang tidak dirawat. Ia tumbuh sendiri tanpa campur tangan manusia. Karena menurutku rasanya lebih nikmat. Aku mencari-cari tempat di sekitar Jogja yang masih tumbuh kopi liar. Kopi liar, sebut saja demikian. Meskipun kopi bukan tanaman asli Indonesia, jadi mestinya kurang tepat kalau disebut liar. Sebenarnya dia bisa disebut liar jika tidak didomestikasi oleh manusia. Inget kan bedanya tanaman sama tumbuhan? Nah kopi yang aku cari yang semacam tumbuhan, Ia tumbuh dan berkembang dengan sendirinya.

Kenyataanya kopi liar sebenarnya tidak ada di Indonesia (setahuku). Kopi ada di Indonesia karena didomestikasi oleh orang luar yang datang kesini. Kopi-kopi yang sekarang tumbuh di pekarangan atau di hutan-hutan tanpa campur tangan petani inilah yang ku sebut kopi liar. Kopi-kopi itu yang sama sekali tidak dipupuk, dipangkas ranting-cabangnya, disemprot pestisida dan perlakuan lainnya. Ini jauh lebih ramah lingkungan karena Ia mampu hidup dalam keseimbangan alam dan menjalani rantai makanan serta jejaring makanan. Rata-rata tanamanya tinggi-besar dan produksinya kurang banyak. Aku belum melakukan riset lebih dalam tentang kopi tersebut.  Perkiraanku, ini kopi yang masih belum diutak-atik genetikanya. Kopi yang ada di perkebunan tentu saja telah di-setting genetikanya sehingga Ia berbuah lebih banyak dan panen lebih cepat. Permintaan pasar akan kopi yang tinggi menuntut perubahan genetika tersebut. Apa akibatnya? Lahan konservasi diubah menjadi kebun kopi, penggunaan input sintetis di lahan dibenarkan, putusnya rantai makanan akibat tanaman yang beragam. Ini akan menyebabkan keseimbangan di alam terganggu.

Aku butuh uang tapi tak ingin mengekspliotasi alam. Jadi aku jual kopi dengan jumlah yang terbatas. Aku berusaha tetap menjaga kopi liar itu tetap tumbuh dengan sendirinya. Agar alam tetap terjaga. Bukankah dengan membiarkan sebuah ekosistem kita sudah melestarikan lingkungan? Mereka lebih tahu cara menjaga keseimbangan. Kedepannya aku ingin menanam sendiri kopiku, dan kelak mengaturnya supaya kopi tersebut tumbuh sendiri tanpa campur tanganku. Meskipun aku hidup di dataran rendah yang jarang tumbuh kopi. Aku yakin kopi bisa tumbuh dan berbuah disini karena aku pernah melihat dan menikmati kopi yang tumbuh di tepi pantai. Aku menjumpainya di sebuah daerah di Maluku Tengah.

Ketika blusukan mencari kopi liar lalu bertemu dengan pemilik lahan yang tumbuh kopi liar, biasanya aku malah dikasih secara cuma-cuma. Padahal kan aku mencari kopi tersebut untuk dijual. Ketika mau membeli kopi di lahan teman yang punya kebun kopi, aku juga dikasih secara cuma-cuma. Ya sudah, selama ini aku menggratiskan kopi yang aku buat. Ayo mumpung masih gratis mari merapat ke warung kopiku, pagi-pagi :)

Wednesday 15 April 2015

Membisu di Sebuah Senja


Aku bahagia meski tanpa bicara
Inilah senja yang selalu kudamba
Adalah seorang hamba seperti mereka
Namun aku tak punya kuasa
Tak berdaya
Bahkan untuk sebuah kata
Tapi biarlah seperti adanya
Apalah artinya senja jika tetap menjadi senja
Lebih baik tak bicara
Karena untuk sebuah kata
Aku butuh langkah sejuta.

Pleret, 2 April 2015.

Tuesday 27 January 2015

Sego Separo : "Separo nggo kowe, separo nggo aku..."


Sego separo adalah sebuah ungkapan dalam bahasa jawa yang secara gamblang berarti separuh porsi nasi. Ungkapan ini memiliki makna membagi dua dari sepiring nasi yang akan kita makan. Bayangkan jika Anda makan nasi dengan porsi seperti biasanya. Kemudian nasi didalam piring itu dibagi menjadi dua maka akan ada dua bagian nasi yang jumlahnya masing-masing separuh dari porsi biasanya. Ketika satu bagian nasi itu dipindahkan ke piring yang lain itulah Sego Separo. Begitu juga nasi yang ada di piring Anda.

Mengapa kita perlu membagi dua dari satu porsi nasi yang biasa kita makan? Karena kita perlu membagikan separuh nasi kita kepada orang lain yang kelaparan. Separo nggo kowe, separo nggo aku (Separuh nasi untuk kamu, separuh untuk aku), kenikmatan yang selalu kita dapatkan berupa perut kenyang seharusnya bisa dirasakan pula oleh orang lain. Separo bukan sisa makanan yang kita makan tetapi sebuah keadaan yang setara, aku dan kowe sama-sama kenyang dengan menikmati separo nasi. Kowe menjadi prioritas separo nasi itu (berada di awal kalimat) karena aku telah terbiasa (dan selalu) makan nasi. Sebenarnya tak ada bedanya nasi yang dimakan aku dan kowe karena berasal dari satu nasi yang sama dan dalam jumlah yang sama.

Benarkah aku akan kenyang hanya dengan makan separo nasi? Padahal biasanya aku makan satu porsi nasi. Kalau begitu mari satukan kembali nasi di dalam piring punya aku dan punya kowe lalu kita makan bersama. Jadi aku dan kowe makan satu porsi nasi seperti biasanya. Tak ada bedanya kan? Aku makan satu porsi nasi, kowe pun demikian.

Thursday 22 January 2015

Bosan Dunia Maya


Selain media cetak, sebenarnya TV dan Radio lebih nyaman dinikmati jika kita mampu memilih siaran yang berkualitas. Saat ini kita hanya butuh informasi yang menginspirasi, sementara smartphone telah menjamah seluruh waktu yang kita miliki. Padahal informasi yang datang melalui smartphone begitu cepat dan tidak semuanya menginspirasi. Smartphone juga selalu mendorong kita untuk membagikan informasi sekecil apapun yang kita miliki. Akibatnya informasi (yang mungkin) tidak penting bagi orang lain menjadi konsumsi publik melalui jejaring sosial yang disebarkan dengan perangkat pintar tersebut. Sayangnya media cetak versi online juga melakukan hal yang sama, saking up to date-nya sampai-sampai berita yang disiarkan banyak yang tidak bermutu. Banyak contohnya, Anda pasti sudah tahu sendiri. Padahal mereka juga lah yang menggiring opini publik, jadi apakah yang terjadi sebenarnya saat ini?

Karena dunia maya pula lah hubungan sosial menjadi absurd. Jangan-jangan dunia maya diciptakan untuk mengacaukan perilaku masyarakat? Padahal negara kita pengguna dunia maya terbesar. Atau apakah yang terjadi saat ini hanyalah kebetulan belaka dan kita semua sedang belajar menjadi dewasa menjalani kehidupan di dunia maya. Kalau memang begitu bisa jadi kita belum terbiasa hidup di dunia maya, ini adalah dunia baru bagi kita semua. Sebelum dunia maya ini marak, generasi seangkatan saya atau diatas saya telah mengalami arus informasi yang disampaikan melalui media konvensional seperti media cetak, TV, dan Radio. Kita telah mengetahui cara memilih informasi mana yang berkualitas hingga pada saatnya jenuh dengan media konvensional tersebut karena banyak siaran yang tidak bermutu. Saat ini ketika kita beralih ke dunia maya ternyata yang terjadi sama saja. Bagaimana dengan generasi saat ini yang langsung dihadapkan dengan kehidupan dunia maya? Yang dampaknya jelas mengacaukan hubungan sosial. Apa yang akan terjadi dengan generasi saat ini dimasa yang akan datang? Lebih baik mereka diarahkan pada kehidupan sosial yang sebenarnya. Hindarkan mereka dari perangkat pintar, ganti dengan buku bacaan yang inspiratif.

Diantara kekacauan melalui dunia maya tersebut bisa saja kita memilih informasi yang bermutu dan inspiratif. Pasti ada channel yang menyediakan informasi yang dimaksud. Namun bagi saya saat ini lebih memilih siaran TV dan Radio daripada nimbrung di dunia maya, tentu saja setelah browsing jadwal siarannya dan menentukan acara mana yang akan dinikmati. Setelah saya menyadari ternyata di media cetak sudah tidak ada lagi kolom siaran televisi apalagi radio. Tak ada lagi rebutan remote TV karena yang lain sudah sibuk dengan gadgetntya. Oiya tulisan ini juga lewat dunia maya, kan?