Tuesday 13 December 2016

All my Failures

Kesuksesan seseorang dinilai dari materi yang Ia miliki serta penampilan fisiknya. Demikianlah pendapat banyak orang. Walaupun bagi sebagian orang tidaklah demikian, stereotip tetap lah stereotip. Mau tak mau anggapan tersebut merasuk ke dalam benak sebagian besar masyarakat kita. 

Bagi orang yang hidup penuh keyakinan akan agama, Ia pasti menilai kesuksesan adalah ketika Ia mati dalam keadaan baik, dan setelah mati masuk surga. Maka Ia menghindari hal-hal yang menyebabkan kesuksesan itu tidak tercapai alias gagal. Sukses tidaknya hanya Ia, malaikat dan Tuhan lah yang tahu. Bagi pemulung yang hidup di jalanan, kesuksesan adalah ketika Ia cukup makan setiap hari. Entah makanan itu layak dimakannya atau tidak, yang penting perut kenyang. Bagi para revolusioner, kesuksesan adalah ketika ideologinya mampu diteruskan oleh pengikutnya sepanjang masa.

Terlalu panjang membahas tentang kesuksesan. Sampai pada suatu ketika ada sebuah kondisi saat kamu punya ijazah sarjana dan kamu tidak memiliki pekerjaan apapun. Sementara tetanggamu hanya lulusan SMA dan Ia mampu membuatkan rumah untuk orangtuanya. Atau saat orang lain sedang bergelut dengan bidang yang kamu pelajari di bangku kuliah, beberapa bulan saja Ia dalami materi tentang bidang itu tetapi Ia jauh diatasmu karena memiliki pendapatan yang tetap dengan bidang tersebut. Disitulah perdebatan akan kesuksesan harus dimulai.

Bagiku kesuksesan memang tentang materi seperti anggapan banyak orang. Tetapi aku tak ingin menjadi orang yang sukses karena pengorbanan jauh lebih penting. Untuk apa sukses jika kerusakan terjadi atas kesuksesan tersebut. Lebih baik menderita. Oh tidak, aku tak ingin orang lain sukses dengan meninggalkan kerusakan aku juga tak ingin orang lain menderita karena berkorban. I have to do something better then.

No comments :

Post a Comment